MOESLIM.ID | Bagi masyarakat muslim Indonesia, khitan bagi anak laki-laki adalah suatu hal yang biasa, meskipun ada hal-hal yang perlu diluruskan berhubungan dengan pelaksanaan sunah bapak para nabi ini Ibrahim alaihissalam.
Namun, bagi kaum hawa, khitan menjadi sebuah perkara yang sangat jarang dilakukan, bahkan bisa saja masih menjadi sesuatu yang tabu dilakukan oleh sebagian orang, atau bahkan mungkin ada yang mengingkarinya.
Padahal syariat khitan bagi kaum wanita merupakan sesuatu yang benar-benar ada dalam syariat Islam yang suci ini. Setahu kami (penulis) tidak ada khilaf (perselisihan) ulama mengenai hal ini.
Khilaf di kalangan mereka hanya berkisar pada status hukumnya, apakah khitan itu wajib dilakukan oleh kaum wanita ataukah sekedar sunah. Semoga tulisan ini dapat memberikan sedikit penjelasan tentang permasalahan ini.
Imam Nawawi mengatakan, “Yang wajib bagi laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutupi kepala dzakar sehingga kepala dzakar itu terbuka semua. Sedangkan bagi wanita, maka yang wajib hanyalah memotong sedikit daging yang berada pada bagian atas farji.” (Syarah Sahih Muslim, 1:543 dan Fathul Bari, 10:340)
Hukum Khitan bagi Wanita
Ulama yang mewajibkan khitan, mereka berargumentasi dengan beberapa dalil:
1. Hukum wanita sama dengan laki-laki, kecuali ada dalil yang membedakannya, sebagimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Dari Ummu Sulaim radhiallahu’anha, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Wanita itu saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Daud, no.236, Tirmidzi, no.113, Ahmad 6:256 dengan sanad hasan).
2. Adanya beberapa dalil yang menunjukkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebut khitan bagi wanita, di antaranya sabda beliau:
إذ التقى الختا نا ن فقد وجب الغسل
“Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Tirmidzi, no.108, Ibnu Majah, no.608, Ahamad 6:161, dengan sanad sahih)
عن أنس بن مالك, قال رسول الله صلي الله عليه والسلم لأمّ عاطية رضي الله عنها : إذا خفضت فأشمي ولا تنهكي فإنّه أسرى للوجه وأحضى للزوج.
Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu mengatakan, Rasulullahi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Ummu athiyah, ”Apabila engkau mengkhitan wanita biarkanlah sedikit, jangan potong semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.” (HR. Al Khatib)
3. Khitan bagi wanita sangat masyhur dilakukan oleh para sahabat dan para salafusshalih sebagaimana tersebut di atas.
Ulama yang berpendapat sunah, alasannya:
Menurut sebagian ulama tidak ada dalil secara tegas yang menunjukkan wajibnya, juga karena khitan bagi laki-laki tujuannya membersihkan sisa air kencing yang najis yang terdapat pada tutup kepala dzakar, sedangkan suci dari najis merupakan syarat sahnya shalat. Khitan bagi wanita tujuannya untuk mengecilkan syahwatnya, jadi ia hanya untuk mencari sebuah kesempurnaan dan bukan sebuah kewajiban. (Syarhul Mumti’, 1:134)
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah pernah ditanya, “Apakah wanita itu dikhitan ?” Beliau menjawab, “Ya, wanita itu dikhitan dan khitannya adalah dengan memotong daging yang paling atas yang mirip dengan jengger ayam jantan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘biarkanlah sedikit dan jangan potong semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi suami.’ Alasannya, karena khitan bagi laki-laki untuk menghilangkan najis yang terdapat dalam penutup kulit kepala dzakar, sedangkan tujuan khitan wnaita adalah untuk menstabilkan syahwatnya. Karena apabila wanita tidak dikhitan maka syahwatnya akan sangat besar.” (Majmu Fatawa, 21:114)
Jadi, khilaf mengenai hukum khitan ini ringan, baik sunnah atau wajib keduanya adalah termasuk syariat yang diperintahkan, kita harus berusaha untuk melaksanakannya.
Waktu Khitan
Terdapat beberapa hadis hasan yang menunjukkan bahwa khitan dilaksanakan pada hari ke tujuh setelah kelahiran, yaitu:
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhuma, ia mengatakan, “Bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengakikahi Hasan dan Husein serta mengkhitan keduanya pada hari ketujuh.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Dari Abu Ja’far berkata, “Fathimah melaksanakan akikah anaknya pada hari ketujuh. Beliau juga mengkhitan dan mencukur rambutnya serta menyedekahkan perak dengan seberat rambutnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Namun, meskipun begitu, khitan boleh dilakukan sampai anak agak besar, sebagaimana telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhallahu anhu, bahwa beliau pernah ditanya, “Seperti apakah engkau saat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meninggal dunia ? ”Beliau menjawab, “Saat itu saya barusan dikhitan. Dan saat itu para sahabat tidak mengkhitan kecuali sampai anak itu bisa memahami sesuatu.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Thabrani).
Imam Al Mawardi mengatakan, ”Khitan itu memiliki dua waktu, waktu wajib dan waktu sunah. Waktu wajib adalah masa baligh, sedangkan waktu sunah adalah sebelumnya. Yang paling bagus adalah hari ketujuh setelah kelahiran dan disunahkan agar tidak menunda sampai waktu sunah kecuali ada udzur.” (Fathul Bari, 10:342)(muslimah.or.id)









