
Ketiga, hadirnya “Undang-Undang tentang Prinsip yang Memperkuat Penghormatan terhadap Prinsip-prinsip Republik”. UU ini disetujui oleh parlemen sebagai landasan hukum yang disiapkan untuk memungkinkan campur tangan pemerintah, dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan pribadi umat Islam di negara tersebut.
Terakhir, Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin mengakui bulan lalu bahwa 92 dari 2.500 masjid di negara itu telah ditutup sejak September 2020.
Selain keputusan konkret yang diambil untuk mengintimidasi dan meminggirkan Muslim di Prancis, dua isu penting lainnya yang mengemuka selama masa jabatan Presiden Emmanuel Macron dinilai harus disebutkan. Yang pertama adalah proyek rekayasa sosial, yang disebut “Islam Prancis” dan mencerminkan pemahaman sekularisme dari atas ke bawah.
Proyek yang disuarakan oleh Macron sendiri tersebut bertujuan untuk melemahkan nilai-nilai sui generis Islam dan mengasimilasi umat Islam di bawah nama apa yang disebut kohesi sosial. Pernyataan tak berdasar Macron baru-baru ini seperti “Islam perlu direstrukturisasi” dan “Islam sedang dalam krisis” juga dapat dilihat sebagai perpanjangan dari proyek rekayasa sosial ini.
Mehmet Boyraz menyebut ada beberapa alasan di balik keputusan yang sering dibuat oleh pemerintahan Macron terhadap Muslim dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya adalah keinginan presiden untuk menghidupkan kembali popularitasnya yang jatuh.
Sudah menjadi fakta umum bahwa Macron, yang menjabat dengan menarik profil penumpang menengah selama proses pemilihan pada 2017, telah kehilangan dukungan di masyarakat di tengah situasi saat ini.








