Prancis Dianggap Melewati Batas Toleransi Terhadap Islam

Ilustrasi melawan Islamphobia. (net)

Fakta bahwa partainya, Gerakan Pawai Republik (LREM), mengalami kekalahan besar dalam pemilihan kepala daerah yang diadakan pada Juni tahun ini, seolah menegaskan hal ini. Dalam pemilihan ini, yang dipandang sebagai semacam latihan untuk pemilihan presiden yang akan diadakan tahun depan, LREM hanya menerima 7 persen suara di putaran kedua dan tetap di bawah ambang batas 10 persen.

LREM kehilangan suaranya di kota-kota besar, seperti Lyon, Marseille dan Paris, dari partai-partai saingan dalam pemilihan lokal tahun lalu menunjukkan sebuah akhir telah dimulai untuk presiden ini.

Baca Juga:  Indonesia dan Yordania Jalin Kerjasama Bidang Pendidikan

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Macron, yang berencana menjadi kandidat lagi tahun depan, terjebak di sudut politik dalam negeri. Ia melihat segala sesuatunya tidak berjalan dengan baik dalam hal masa depan politiknya sendiri. Lantas, ia yang telah memeluk pemikiran “anti-Islamisme”, yang kini menjadi “semangat zaman” dalam politik Eropa, berupaya untuk membalikkan situasi ini.

Perlu juga dicatat, tokoh-tokoh ekstrem kanan dan pers nasional memainkan peran penting dalam memfasilitasi semua keputusan yang diambil terhadap Muslim di Prancis, serta peran utama pemerintahan Macron.

Baca Juga:  Pulihkan Citra Islam, Bangladesh Bangun Ratusan Masjid

Retorika Islamofobia terus-menerus disuarakan oleh ekstremis sayap kanan seperti Marine Le Pen atau Eric Zemmour. Berita pers Prancis yang memicu Islamofobia memiliki peran fungsional dalam menghadirkan kesan keberadaan Muslim di negara itu sebagai ancaman.

Faktanya, Mehmet Boyraz mengatakan Islamofobia meledak di Prancis karena sikap aktor Islamofobia yang menghadirkan kehadiran Muslim di negara itu sebagai ancaman.