
Yusli juga mengingatkan bahwa relokasi ini berpotensi menjadi celah bagi Israel untuk menghilangkan bukti sejarah Palestina. “Jika Gaza ditinggalkan, Israel dapat dengan mudah merekonstruksi wilayah itu sesuai kepentingannya. Artefak sejarah akan hilang, dan generasi mendatang Palestina tidak lagi memiliki memori kolektif tentang perjuangan mereka,” tambahnya.
Relokasi besar-besaran warga Gaza ke Indonesia dinilai akan menimbulkan dampak serius, baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun politik. Indonesia, yang bukan penandatangan Konvensi Pengungsi 1951, memiliki keterbatasan dalam memberikan status resmi kepada pencari suaka.
“Jika rencana ini benar-benar terjadi, status mereka di Indonesia hanya sebatas asylum seeker atau pencari suaka. Mereka tidak akan langsung diakui sebagai pengungsi, karena Indonesia bukan pihak yang meratifikasi Konvensi Pengungsi. Pemenuhan kebutuhan dasar mereka akan sangat bergantung pada lembaga internasional seperti UNHCR dan IOM,” papar Yusli.
Ia juga menyoroti potensi konflik sosial yang dapat terjadi. “Kita bisa belajar dari kasus pengungsi Rohingya yang pernah datang ke Aceh. Saat itu, meskipun masyarakat Aceh menyambut mereka dengan hangat, tetap saja muncul masalah sosial. Pengungsi membutuhkan tempat tinggal, makanan yang sesuai, pendidikan, hingga pekerjaan. Belum lagi kebutuhan biologis seperti pernikahan, yang seringkali menjadi masalah baru,” jelasnya.
Dari sisi ekonomi, Yusli mengingatkan bahwa Indonesia masih menghadapi banyak tantangan domestik. “Masyarakat kita saja masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jika dua juta warga Gaza direlokasi ke sini, beban ekonomi negara akan semakin berat,” ujarnya.








