Tragedi Muslim di Uighur Berdampak Pada Stabilitas Global

Umat muslim Uighur
Umat muslim Uighur. (Foto: Net)

Ia pun menjelaskan pentingnya masyarakat memahami dan mencari solusi, untuk merujuk pada sejarah, budaya, serta kesepakatan dan perjanjian yang telah ada, baik melalui PBB, OKI, peran contact groups, maupun forum multilateral lain, sebagai acuan upaya penyelesaian.

“Kita memiliki amanat dari UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri untuk aktif berkontribusi. Artinya, diplomasi pemuda tidak hanya sah, tetapi juga strategis dalam memperkuat solidaritas lintas bangsa demi keadilan dan perdamaian sejati,” pungkasnya.

Baca Juga:  Iran Tidak Hentikan Pengayaan Uranium, Timur Tengah Diambang Perang?

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Adlan Athori, menyoroti situasi di Xinjiang saat Xi Jinping menjabat menjadi presiden pada 2013, dinilai sangat represif kepada etnis Uighur. 

“Untuk membuktikan kepada dunia bahwa China adalah negara yang kuat, tidak lemah, dan mampu mengontrol setiap potensi perlawanan di dalam negeri. Langkah represif ini sejalan dengan ambisi Xi Jinping untuk merangkul dan mengonsolidasikan daerah-daerah otonomi khusus yang ada di China, termasuk Xinjiang, Tibet, hingga Hong Kong,” beber Adlan. 

Baca Juga:  Revitalisasi KUA Diharap Wujudkan Pelayanan Prima

“Dengan cara ini, Xi ingin menegaskan bahwa kedaulatan dan persatuan nasional tidak bisa diganggu gugat, meskipun hal tersebut seringkali dibayar mahal dengan pengabaian hak-hak asasi masyarakat minoritas,” tandasnya.(rmol.id)