MOESLIM.ID | Melanjutkan artikel sebelumnya, Hukum Memakai Baju Warna Merah Dalam Islam (1) dan Hukum Memakai Baju Warna Merah Dalam Islam (2). Dari sekian pendapat mengenai hukum memakai pakaian warna merah, pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat yang membolehkan pakaian warna merah, dengan beberapa alasan,
Pertama, hadis yang menyebutkan tentang larangan memakai warna merah, tidak lepas dari cacat dan kelemahan, sehingga tidak bisa dijadikan acuan.
Kedua, peristiwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memakai pakaian warna merah, sebagaimana yang diceritakan oleh Al Barra bin Azib, Amir Al Muzanni dan Abu Juhaifah radhiyallahu anhum, terjadi ketika haji wada’. Artinya itu terjadi di akhir perjalanan dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Ketiga, hadis Ibnu Abbas yang dinilai shahih sandanya oleh Al Albani, dimaknai sebagaimana pendapat beliau, bahwa larangan ini berlaku jika menimbulkan syuhrah (mengundang perhatian). Karena Nabi shallallahu alaihi wasallam mengenakan pakaian merah ketika hari raya, yang menunjukkan bahwa itu beliau lakukan sebagai bentuk berhias.
Keempat, pendapat yang mengatakan ‘jika ada campuran warna lain selain merah, seperti hitam atau putih, tidak terlarang’ ini pendapat yang kurang tepat.
Dr. Muhammad Ali Farkus mengatakan,
أما ما قرره ابن القيم – جمعا بين الأحاديث من أن الحلة الحمراء بردان يمانيان منسوجان بخطوط حمر وسُود، فإنّ هذا الجمع يفتقر إلى دليل لما علم أن الصحابي وهو من أهل اللغة واللسان قد وصفها بأنها حمراء فينبغي حملها على الأحمر البحت لأنه هو المعنى الحقيقي لها
Apa yang ditegaskan Ibnul Qoyim, dalam rangka mengkompromikan hadis, bahwa pakaian merah dari Yaman, ditenun campuran antara merah dengan hitam. Kompromi semacam ini butuh dalil. Karena kaidah yang diketahui, bahwa para sahabat, dan mereka memahami bahasa arab yang benar, menceritakan bahwa pakaian Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika itu warnanya merah. Selayaknya kita maknai merah polos. Karena itulah makna hakiki untuk kalimat tersebut.
Beliau melanjutkan,
وحمل مقالة ذلك الصحابي على لغة قومه آكد ولا يصار إلى المعنى غير الحقيقي إلا بدليل صارف على ما هو مقرر في موضعه
“Memahami keterangan sahabat sesuai bahasa masyarakatnya, lebih ditekankan. Dan tidak boleh dialihkan ke makna yang tidak hakiki, kecuali dengan dalil yang mendukunya, sebagaimana yang dijelaskan dalam referensi masalah ini.”
Alasan beliau ini merupakan penjelasan As Syaukani dalam Nailul Authar (2/114-115).
Kelima, memakai pakaian warna merah termasuk bentuk berhias yang dihalalkan
Ketika menjelaskan hadis Abu Juhaifah di atas, Imam Ibnu Batthal menukil keterangan Al Muhallab,
‘Hadis ini dalil bolehnya memakai pakaian warna merah, dan bantahan untuk orang yang memakruhkan warna merah. Hadis ini juga menunjukkan bolehnya memakai pakaian yang berwarna, bagi pemimpin maupun orang zuhud dunia. Karena merah adalah warna yang paling menonjol dan perhiasan paling indah di dunia. Tentang firman Allah,
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ
“Qarun keluar dengan mengenakan perhiasannya..” (QS. Al Qashas: 79),
Ada yang mengatakan, Qarun keluar dengan memakai pakaian warna merah. Sementara ditegaskan dalam firman yang lain,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
“Katakanlah: Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan yang Allah berikan kepada hambanya, dan rizki yang halal..” (QS. Al A’raf: 32)
Kata ‘perhiasan’ mencakup semua perhiasan yang mubah (termasuk pakaian warna merah). (Syarh Shahih Bukhari Ibnu Batthal, 2/39)
Allahu a’lam.(konsultasisyariah.com)
Referensi Lainnya, klik: https://www.jabarnews.com