
Melempar jumrah pada seluruh hari tasyrik dikatakan melakukannya pada waktunya (adaan). Siapa saja yang melempar jumrah diundur ke hari berikutnya, maka itu sah dan tidak terkena apa-apa. Ia hanyalah meninggalkan kesunnahan.
Waktu melempar jumrah berakhir dengan tenggelamnya matahari pada hari tasyrik. Siapa yang melempar jumrah setelah waktu tersebut, maka ia berarti mengqadha’, bukan adaa-an (mengerjakan di waktunya).
Hukum melempar jumrah pada malam hari masih dibolehkan karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menetapkan awalnya ketika telah masuk zawal (Zhuhur), tetapi beliau tidak menentukan akhir waktunya.
Melempar jumrah pada siang hari itu azimah, sedangkan pada malam hari adalah suatu keringanan (rukhshah). Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Abdullah Al Fauzan dalam Minhah Al‘ Allam, 5:344-345.(*)