
Para ulama berargumentasi dengan kisah yang diriwayatkan dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata;
أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ رَكِبَ الْبَحْرَ فَمَاتَ فَلَمْ يَجِدُوْا لَهُ جَزِيْرَةً إِلاَّ بَعْدَ سَبْعَةِ أَيَّامٍ فَدَفَنُوْهُ فِيْهَا وَلَمْ يَتَغَيَّرْ
“Sesungguhnya Abu Thalhah mengarungi lautan lalu meninggal dunia. Mereka tidak mendapatkan daratan kecuali setelah tujuh hari lalu mereka kuburkan di sana dan belum rusak jasadnya”. (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra: 4/10)
Kemudian imam Al Baihaqi rahimahullah berkata; “Telah diriwiyatkan kepada kami dari Al Hasan Al Bashri rahimahullah pernah berkata, ‘Beliau dimandikan, dikafani dan disholatkan lalu dilarungkan ke laut’.” (Sunan Al Kubra, 4/10)
Cara menguburkan atau melarung jenazah di laut dengan pendapat yang paling kuat adalah dengan diberi pemberat apabila dikhawatirkan membusuk dan diarungkan ke laut.
Ini pendapat Sahnun dari Malikiyah, dan mazdhab Hambaliyah. Pendapat ini berargumen, dengan diberi pemberat maka tercapai yang dimaksud dari penguburan dan selamat dari dimakan hewan.
Cara penguburan jenazah ini sesuai dengan penjagaan syariat terhadap kemulian manusia khususnya Muslim yang harusnya ditutupi ketika hidup dan setelah matinya.(*)