
Sehingga ibadah yang diperintahkan oleh Allah itu mengandung sifat puncak kerendahan (ketundukan) kepada Allah disertai puncak kecintaan kepadaNya.
Siapa yang tunduk kepada seorang manusia disertai kebenciannya kepadanya, maka ia tidak menjadi seorang yang beribadah kepadanya. Dan seandainya seseorang mencintai sesuatu dan ia tidak tunduk kepadanya, maka ia tidak menjadi seorang yang beribadah kepadanya. Sebagaimana seseorang mencintai anaknya, dan kawannya.
Oleh karena itu, dalam beribadah kepada Allah tidak cukup dengan salah satu dari kedua sifat itu saja. Tetapi seorang hamba, ia wajib menjadikan Allah sebagai yang paling dicintai daripada segala sesuatu, dan menjadikan Allah yang paling diagungkan daripada segala sesuatu.
Bahkan tidak ada yang berhak mendapatkan kecintaan dan ketundukan yang sempurna, kecuali Allah. Sehingga apa saja yang dicintai bukan karena Allah, maka kecintaannya itu rusak. Dan apa saja yang diagungkan bukan dengan perintah Allah, maka pengagungannya itu bathil.(Al Ubudiyah, hlm. 23-24).(*)