
Jadi, seseorang disebut mu’min dengan sebab imannya, fasik dengan sebab dosa besarnya, muslim dengan sebab tauhidnya. Dia fasik dengan sebab dosa yang dia lakukan dengan terang-terangan dan belum bertaubat.
Ucapan imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah tersebut memuat penetapan aqidah Ahlus Sunnah yang berbeda dengan Khawarij, Mu’tazilah dan Murji’ah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman;
وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ
“Barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya”. (QS. An Nisa: 93)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancamnya dengan Jahannam, kemurkaan dan laknat, namun Allah tidak menghilangkan iman atau status mu’min darinya. Ini menunjukkan bahwa dosa besar yang dilakukan oleh seorang muslim tidak menyebabkan imannya hilang.
Perbuatan dosa tersbut bukan alasan untuk melegalkan vonis keluar dari Islam atau kafir untuk para pelaku dosa.