
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman;
وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ
“Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal”. (QS. Al Baqarah: 269)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda;
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ
“Siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki kebaikan kepadanya, niscaya Dia Subhanahu wa Ta’ala memberikan pemahaman dalam agama kepadanya.” (HR. Bukhari, kitab Al Ilmu, bab ke-13, no. 71)
Luqman Al Hakim memandang hikmah adalah sesuatu yang bisa didapatkan dengan duduk bersama orang-orang shalih yang dijadikan panutan, sebagaimana dalam wasiatnya kepada anaknya: ‘Wahai anakku, duduklah bersama para ulama dan bersimpuhlah di hadapan mereka dengan kedua lututmu. Maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menghidupkan hati dengan cahaya hikmah, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menghidupkan bumi yang tandus dengan tetesan air hujan’. (Muwaththa Malik, 2/1002, kitab Ilmu, bab ke-1)
Diantara sumber untuk mendapatkan hikmah adalah mengambil faedah dari perjalanan umur dan pengalaman, dengan mengambil pelajaran dan berhati-hati untuk perkara agama dan dunia. Banyak pengalaman termasuk yang menyebabkan seseorang mendapatkan sifat santun dan hikmah.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda;
لاَ حَلِيْمَ إِلاَّ ذُوْ عثرَةٍ, وَلاَ حَكِيْمَ إِلاَّ ذُوْ تَجْرِبَةٍ
“Tidak ada yang bersifat santun kecuali yang mempunyai kekeliruan, dan tidak ada yang bersifat hikmah (bijaksana) kecuali yang mempunyai pengalaman.” (HR. Bukhari, Al Adab Al Mufrad)