
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman;
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Al An’am: 82)
Keamanan yang di maksud pada ayat diatas adalah rasa aman di dunia dan akhirat. Keamanan di dunia dengan jiwa yang ridha dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala, jiwa yang bersih lagi bertakwa.
Sedangkan rasa aman yang didapat di akhirat adalah bersama para Nabi, para shiddiqin, para syuhada dan para shalihin. Sungguh, mereka adalah sebaik-baik teman. Itulah anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kuasa atas segala sesuatu.
Orang yang beriman pada ayat di atas adalah orang-orang yang beriman, beramal shaleh, yang betul-betul mengetahui apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan atas diri mereka lalu mereka memeganginya, melaksanakannya dan mendakwahkannya.
Keimanan bukanlah satu perkara yang terbetik di dalam hati atau pikiran tanpa wujud nyata, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli filsafat dan pengikut hawa nafsu. Akan tetapi, iman yang benar mencakup ilmu, perbuatan dan keyakinan.
Iman adalah mengucapkan dengan lisan, mengamalkan dengan anggota badan dan meyakini dengan hati. Keimanan ini bisa bertambah dengan sebab menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bisa berkurang dengan sebab maksiat.(*)








