
“Wahai Mu’adz, mungkin engkau tidak akan bertemu denganku lagi setelah tahun ini, kemungkinan engkau nanti hanya bisa melewati di masjid dan kuburku“. Manakala mendengar seperti itu maka menangislah Mu’adz tersedu-sedu, karena harus berpisah dengan Rasulallah shalallahu alaihi wasallam, kemudian beliau memalingkan wajah kearah Madinah, lalu berkata: “Sesungguhnya orang yang paling utama disisiku adalah orang yang bertakwa dimanapun tempat dan waktunya“. Dalam sebuah redaksi Rasulallah bersabda: “Janganlah menangis wahai Mu’adz, sesungguhnya menangis termasuk dari setan”. (HR. Ahmad 36/376 no: 22052, 202054)
Ketika tiba waktu kematiannya beliau mengatakan: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak pernah mencintai untuk tetap tinggal didunia ini hanya untuk bisa menggali sungai, tidak pula menanam pohon, akan tetapi, aku menyukai tetap tinggal didunia untuk bisa sholat panjang ditengah malam, dan rasa haus disiang hari yang panas, serta berdesakan dengan para ulama ditempat majelis ilmu.
Beliau meninggal karena sakit setelah terkena wabah tho’un di negeri Syam, dijelaskan dalam sebuah hadits, sebagaimana dalam musnad Imam Ahmad dair Abu Munib al Ahdab, beliau menceritakan: “Mu’adz pernah berkhutbah di Syam, beliau menyebutkan tentang wabah tho’un yang menyebar, seraya mengatakan: “Sesungguhnya ini merupakan rahmat dari Rabb kalian, dan merupakan do’a Nabi kalian, serta banyak orang sholeh yang meninggal dengan sebab itu sebelum kalian. Ya Allah, masukanlah keluarga Mu’adz bagian dari rahmat ini”.
Kemudian beliau turun dari tempat khutbahnya, kemudian masuk ke dalam rumah anaknya Abdurahman bin Mu’adz, lalu anaknya mengatakan sambil menyitir firman Allah:
“(apa yang telah Kami ceritakan itu), Itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu”. (QS. Ali Imran/3: 60)
Maka Mu’adz menjawab sambil menyebut firman Allah ta’ala:
سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS. Ash Shaaffat/37: 102. HR Ahmad 36/404 no: 22085)