
Tiga tahun kemudian, di usia 16 tahun, ia dipercaya memimpin pasukan menaklukkan wilayah Hail (kota di Barat Laut Arab Saudi sekarang), kemudian di usia 20 tahun dipercaya sebagai pemimpin pasukan menghadapi pemberontak dari Yaman.
Setelah pemberontak Yaman ini mulai lemah dan kerajaan mampu untuk menaklukkan Kota Shan’a, Raja Abdul Aziz menyepakati perjanjian damai dengan orang-orang Yaman. Faishal muda yang masih bergejolak semangatnya, merasa kecewa dan menolak keputusan sang ayah.
Namun dari sanalah ia belajar tentang kebijaksanaan, kemenangan tidak hanya diukur dengan kekuatan pedang. Dari kejadian itu juga sang ayah mengajarkan kepadanya bagaimana mengambil tindakan dalam politik luar negeri.
Negara pertama yang dikunjungi Faishal bin Abdul Aziz ketika menjabat menteri luar negeri adalah Kerajaan Inggris. Ia mengadakan dialog dan menjalin kesepakatan-kesepakatan dengan negeri Ratu Elisabet tersebut.
Pada tahun 1939, atas perintah ayahnya, Faishal kembali mengunjungi Inggris untuk melobi kerajaan tersebut agar tidak menjadikan wilayah Palestina sebagai negara Yahudi.








