
Menurut Zayadi, dengan hadirnya LSP Tilawati, proses pengajaran Al Qur’an akan lebih terarah, terukur, dan profesional. Guru Qur’an tidak cukup hanya piawai membaca, tapi juga perlu memahami prinsip-prinsip etis, sosial, dan spiritual dari isi Al Qur’an yang diajarkannya.
“Ini bukan sekadar standardisasi teknis, tapi bagian dari penguatan nilai. Misalnya, saat membaca ayat tentang amanah, guru harus bisa menanamkan pentingnya integritas. Saat membaca ayat larangan curang dalam timbangan, harus ditunjukkan maknanya dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Zayadi.
Zayadi menambahkan, sertifikasi guru Qur’an lewat LSP Tilawati bersifat sukarela dan berbasis kompetensi, bukan administratif atau politis. Kementerian Agama mendorong lembaga pendidikan Islam, pesantren, dan TPQ untuk menjadikan LSP ini sebagai mitra peningkatan mutu.
“Kita ingin guru Al Qur’an diperlakukan secara layak sebagai profesi. Ada jalur pengakuan kompetensi, jenjang pelatihan, dan sistem pembinaan yang berkelanjutan. Tidak bisa lagi dibiarkan sekadar sebagai peran sukarela tanpa penguatan kapasitas,” jelasnya sembari menegaskan bahwa sertifikasi ini dilakukan sesuai mekanisme yang ditetapkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
LSP Tilawati sendiri diinisiasi oleh Pesantren Nurul Falah, pusat pengembangan metode Tilawati, yang telah bermitra lama dengan Kemenag dalam pendidikan Al Qur’an.