
Ia juga menegaskan bahwa keberkahan ilmu tidak hanya diukur dari kecerdasan, tetapi dari akhlak dan penghormatan santri kepada guru. “Ilmu tidak akan masuk ke hati yang kotor. Hormat kepada guru adalah kunci keberkahan pengetahuan,” tegasnya.
Dalam penjelasannya, Menag mengaitkan tradisi pesantren dengan kisah Nabi Musa dan Khidir dalam Surah Al-Kahfi. Ia menyebut bahwa pertemuan keduanya menggambarkan pertemuan antara dua sumber ilmu, yaitu nalar dan intuisi.
“Di Barat, ilmu berkembang dari logika. Di Timur, ilmu tumbuh dari rasa. Pesantren adalah sintesis keduanya, tempat di mana akal dan spiritualitas berjalan seimbang,” jelasnya.
Menurut Menag, keunggulan pesantren terletak pada kemampuannya menjaga keseimbangan antara rasionalitas modern dan nilai-nilai ilahiah. Karena itu, pesantren menjadi benteng moral di tengah tantangan globalisasi dan digitalisasi.
Dalam kesempatan itu, Menag turut memaparkan gambaran terkini mengenai ekosistem pendidikan pesantren di Indonesia yang semakin berkembang pesat. Secara keseluruhan, Indonesia kini memiliki lebih dari 12,6 juta santri yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, dengan lebih dari 42 ribu pondok pesantren dan lebih dari 100 ribu madrasah, sebuah potensi besar yang bukan hanya mencerminkan kekuatan pendidikan Islam, tetapi juga daya spiritual dan sosial bangsa.