
Karena itu, setiap pembuahan janin, harus resmi siapa ayah dan ibunya. Islam menaunginya melalui pernikahan. Sampaipun ketika hendak dilakukan pembuahan buatan, sumber sperma dan sumber ovum, harus pasangan suami istri.
Berikut keterangan Dr. Aqil bin Muhammad Al Maqthiri,
وإن كان يتأتى عملية التلقيح الاصطناعي في حول كون الحيوانات المنوية ضعيفة أو ضعف في البويضات مثلاً فالشرع لا يمنع عملية التلقيح الاصطناعي أو ما يسمى بأطفال الأنابيب شريطة أن يكون تحت إشراف أيدي مسلمة أمينة، وبشرط أن تكون الحيوانات المنوية من الزوج والبويضة من الزوجة.
Jika harus dilakukan pembuahan buatan, karena gerakan sperma yang lemah atau ovum yang lemah, maka syariat tidak melarang dilakukannya pembuahan buatan, yang disebut bayi tabung. Dengan syarat, di bawah pengawasan dokter muslimah yang amanah, dan syarat lainnya, mani dari suami dan ovum dari istri.
Jika sumber mani dari selain suami, atau telurnya dari selain istri, maka statusnya anak zinah.
Dr. Aqil melanjutkan keterangannya,
وأما استعارة الحيوانات المنوية من رجل آخر لتلقيح بويضة المرأة الأجنبية فهذا محرم شرعاً.
وكذلك إذا كانت البويضة من امرأة أجنبية وتلقح بحيوانات الرجل ثم توضع بعد التلقيح في رحم امرأته، وهذا ما يسمى بالرحم المستعار فهذا محرم أيضاً، بل هذا الجنين يعتبر ولد زنا. فالواجب التحري في هذه المسائل.
Adapun meminjam air mani dari lelaki yang lain, untuk membuahi ovum wanita yang bukan istrinya, hukum haram secara syariat. Demikian pula ketika ovum dari wanita yang bukan istri, dan dibuahi sperma seorang lelaki, kemudian setelah terjadi pembuatan diletakkan di rahim istri lelaki itu, yang disebut rahim sewaan, maka semacam ini hukumnya juga haram. Bahkan janin yang terbentuk, termasuk anak zinah. Sehingga harus menghindari masalah semacam ini.(konsultasisyariah.com)
Referensi Lainnya, klik: https://www.jabarnews.com