Rahmah El Yunusiyah

Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah. (Foto: p2k.stekom.ac.id)

Ketika pemerintah kolonial Belanda melalui Van Straten, sekretaris atau controleur Padang Panjang menawarkan kepada Rahmah agar Diniyah Putri didaftarkan sebagai lembaga pendidikan terdaftar sehingga dapat menerima subsidi dari pemerintah, Rahmah menolak.

Ia mengungkapkan bahwa Diniyah Putri adalah sekolah kepunyaan umat, dibiayai oleh umat, dan tidak memerlukan perlindungan selain perlindungan Allah. Menurutnya, subsidi dari pemerintah akan mengakibatkan keleluasaan pemerintah dalam memengaruhi pengelolaan Diniyah Putri.

Kedatangan tentara Jepang di Minangkabau pada Maret 1942 membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan dan mengurangi kualitas hidup penduduk non-Jepang. Selama pendudukan Jepang, Rahmah ikut dalam berbagai kegiatan Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bergerak di bidang sosial.

Baca Juga:  K.H. Abdul Manaf Mukhayyar

Dalam situasi perang, Rahmah bersama para anggota ADI mengumpulkan bantuan makanan dan pakaian bagi penduduk yang kekurangan. Ia memotivasi penduduk yang masih bisa makan untuk menyisakan beras genggam setiap kali memasak untuk dibagikan bagi penduduk yang kekurangan makanan. Kepada murid-muridnya, ia menginstruksikan bahwa seluruh taplak meja dan kain pintu yang ada pada Diniyah Putri dijadikan pakaian untuk penduduk.

Selain itu, Rahmah bersama para anggota ADI menuntut pemerintah Jepang untuk menutup rumah bordil dan menentang pengerahan perempuan Indonesia sebagai jugun ianfu atau wanita penghibur. Tuntutan ini dipenuhi oleh pemerintah Jepang dan tempat prostitusi di kota-kota Sumatra Barat berhasil ditutup.

Baca Juga:  Mustafa Ceric

Rahmah meninggal mendadak dalam usia 68 tahun dalam keadaan berwudu hendak salat Magrib pada 26 Februari 1969. Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga yang terletak di samping rumahnya. Sehari sebelum ia wafat, Rahmah sempat menemui Gubernur Sumatra Barat saat itu, Harun Zain, mengharapkan pemerintah memperhatikan sekolahnya.