
Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali walaupun tidak bertahan lama. Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga sekaligus pasukan Raja Gedombang (regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo, yang berpihak kepada Belanda.
Oleh Belanda ia digelari “De Padrische Tijger van Rokan” (Harimau Paderi dari Rokan) karena amat sulit dikalahkan, tidak pernah menyerah, dan tidak mau berdamai dengan Belanda. Keteguhan sikapnya diperlihatkan dengan menolak ajakan Kolonel Elout untuk berdamai.
Pada tanggal 28 Desember 1838, benteng Daludalu jatuh ke tangan Belanda. Lewat pintu rahasia, ia meloloskan diri dari kepungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
Tuanku Tambusai mengungsi dan wafat di Negeri Sembilan (sekarang Malaysia) pada tanggal 12 November 1882, Tuanku Tambusai pun meneruskan hidup di kampung bernama Rasah, Seremban, Negeri Sembilan, (sekarang Malaysia) dan meninggal disana.
Karena jasa-jasanya yang pernah menentang kolonial Hindia Belanda, pada tahun 1995 pemerintah mengangkatnya sebagai pahlawan nasional.(*)








