Moeslim.id | Ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala harus dilakukan dengan dasar kecintaan, mengharapkan rahmat Allah, takut siksa-Nya dan disertai ketundukan dan pengangungan kepada Allah.
Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Al Quran, Ketika Allah memuji Nabi Zakaria dan keluarganya;
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًاۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka (Nabi Zakaria sekeluarga) adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami“. (QS. Al Anbiya: 90)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; “Ibadah, menggabungkan kesempurnaan (puncak) kecintaan dan kesempurnaan ketundukan. Orang yang beribadah adalah orang yang mencintai dan tunduk. (Ini) berbeda dengan orang yang mencintai seseorang, yang ia tidak tunduk kepadanya, tetapi ia mencintainya karena menjadikannya sebagai perantara kepada perkara lain yang ia cintai. Dan (juga) berbeda dengan orang yang tunduk kepada seseorang, yang ia tidak mencintainya, seperti orang yang tunduk kepada seorang zhalim. Maka keduanya ini bukanlah ibadah yang murni”. (Qaidah fil Mahabbah, dalam Jami’ur Rasail, Juz 2, hal. 284)
Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata; ibadah, asal maknanya adalah kerendahan (ketundukan) juga seperti makna din. Tetapi ibadah yang diperintahkan oleh Allah mengandung makna kerendahan (ketundukan) dan makna kecintaan.