MOESLIM.ID | Nama boleh ditiru, sebutan mungkinlah disamakan, tapi hakikat tetaplah berbeda. Kata orang, “Anda bisa meniru segala yang Anda inginkan, tapi Anda tidak akan pernah menjadi saya”. Kiranya itulah ungkapan yang layak diberikan kepada mereka para peniru dan yang suka mengaku-ngaku.
Mengaku-ngaku dan klaim dalam materi dunia tentu sudah tidak baik dan bukanlah kebiasaan orang-orang terpuji. Bagaimana pula kiranya mengklaim dalam permasalahan menerima wahyu ilahi. Sebagaimana dilakukan oleh Musailamah Al Kadzab. Putra bani Hanifah ini mengaku sebagai Nabi.
Sejarawan berbeda pendapat tentang namanya. Ada yang mengatakan ia adalah Musailamah bin Hubaib Al Hanafi. Yang lain mengatakan Musailamah bin Tsamamah bin Katsir bin Hubaib al-Hanafi. Ada yang mengatakan kun-yahnya adalah Abu Tsamamah. Ada pula yang menyebutnya Abu Harun.
Musailamah dilahirkan di wilayah Yamamah. Di sebuah desa yang sekarang ini disebut Al Jibliyah. Dekat dengan Uyainah di lembah Hanifah wilayah Nejd.
Usia Musailamah lebih tua dan lebih panjang dibanding Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ada yang menyebutkan ia terbunuh pada usia 150 tahun saat Perang Yamamah. Ia adalah seorang tokoh agama di Yamamah dan telah memiliki pengikut sebelum wahyu kerasulan datang kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Sebelum mengaku sebagai nabi, Musailamah sering menyusuri jalan-jalan. Masuk ke pasar-pasar yang ramai oleh masyarakat Arab maupun non-Arab. Berjumpa dengan orang-orang berbagai macam profesi di sana. Pasar yang ia kunjungi semisal pasar di wilayah Al Anbar dan Hirah (Futuh Al Buldan oleh Al Baladzuri, Hal: 100).
Musailamah adalah seseorang yang memiliki kepribadian yang kuat (strong personality). Pandai bicara. Memiliki pengaruh di tengah bani Hanifah dan kabilah-kabilah tetangga. Tutur katanya lembut namun menipu. Pandai menarik simpati, bagi laki-laki maupun wanita. Ia menyebut dirinya Rahman Al Yamamah. Namun Allah berkehendak beda. Ia dikenal dengan nama Musailamah Al Kadzab (Musailamah sang pendusta) hingga hari ini.
Saat Musailamah mengumumkan kenabiannya (nabi palsu), Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berada di Mekah. Ia mengutus orang-orang pergi ke Mekah untuk mendengarkan Alquran. Kemudian kembali ke Yamamah untuk membacakannya kepadanya. Setelah itu ia menirunya atau memperdengarkan ulang ke hadapan orang-orang sambil mengklaim itu adalah kalamnya (Tarikh Ar Rusul wa Al Muluk oleh Ath Thabari, 3: 295).
Pada tahun ke-9 H, tokoh-tokoh bani Hanifah yang berjumlah beberapa belas orang laki-laki datang menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam di Madinah. Di antara mereka terdapat Musailamah. Mereka datang untuk mengumumkan keislaman kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan menyepakati bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah pemimpin.
Bani Hanifah termasuk kabilah Arab yang terbesar jumlahnya. Mereka memiliki kedudukan dan terpandang. Karena merasa layak mendapatkan kepemimpinan, mereka mengajukan permintaan kepemimpinan. Mereka ingin agar Musailamah kelak menggantikan posisi Nabi setelah beliau wafat. Nabi shallallahu alaihi wasallam menolak permintaan mereka.
Utusan bani Hanifah pun kecewa dan mulai muncul keinginan untuk keluar dari Islam. Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menangkap gelagat ini. Ketika hendak pulang ke Yamamah, mereka berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Sesungguhnya kami meninggalkan salah seorang sahabat kami di perbekalan kami untuk menjaganya”.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menanggapi, “Kedudukan dia (Musailamah) tidak lebih buruk daripada kedudukan kalian”. Artinya walaupun ia sebagai petugas yang menjaga perbekalan kalian, bukan berarti kedudukannya lebih rendah dari kalian. Mereka pun pulang ke Yamamah dengan membawa hadiah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Perkataan Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadap Musailamah tersebut dijadikan sabda rekomendasi oleh Musailamah dan tokoh yang lain. Mereka klaim bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam meridhai Musailamah sebagai penggantinya. Tak lama Musailamah pun mengumumukan kenabiannya di tengah-tengah bani Hanifah. Sejak saat itulah ia dikenal sebagai Musailamah Al Kadzab.
Kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam menunjuk Nuharur Rijal bin Unfuwah untuk mengajarkan agama kepada penduduk Yamamah. Ibnu Unfuwah adalah laki-laki yang berilmu, luas pandangannya, dan cerdas. Siapa sangka, ternyata Ibnu Unfuwah malah bergabung dengan Musailamah. Kesungguhannya di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hanyalah riya’ semata. Ibnu Unfuwah mengakui kenabian Musailamah. Menurutnya Musailamah bersama-sama Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dalam risalah kenabian. Orang-orang bani Hanifah pun simpati kepadanya. Dan Musailamah menjadikannya orang kepercayaan (Futuh Al Buldan oleh Al Baladzuri, Hal: 97, Tarikh Ar Rusul wal Muluk oleh Ath Thabari, 3: 137-138, dan Al Bidayah wan Nihayah oleh Ibnu Katsir, 5: 50-52).
Setelah klaim kenabiannya diterima di tengah-tengah kaumnya, rasa percaya diri Musailamah kian bertambah. Semakin jauhlah kesesatannya. Ia mulai memposisikan diri sebagai seorang utusan Allah. Ia meniru Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang berdakwah melalui surat kepada para raja dan penguasa.
Saking percaya dirinya, ia mengirim surat kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam:
مِنْ مُسَيْلِمَةَ رَسُولِ اللَّهِ، إلَى مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ: سَلَامٌ عَلَيْكَ، أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي قَدْ أُشْرِكْتُ فِي الْأَمْرِ مَعَكَ، وَإِنَّ لَنَا نِصْفَ الْأَرْضِ، وَلِقُرَيْشٍ نِصْفَ الْأَرْضِ، وَلَكِنَّ قُرَيْشًا قَوْمٌ يَعْتَدُونَ
“Dari Musailamah seorang rasulullah kepada Muhammad seorang rasulullah. Keselamtan atasmu, amma ba’du: Sungguh aku sama denganmu dalam kerasulan ini. Bagi kami bagian bumi tertentu dan bagi Quraisy bagian bumi lainnya. Akan tetapi orang-orang Quraisy adalah kaum yang melampaui batas.”
Perhatikanlah, para penyeru kesesatan sejak dulu terbiasa menggunakan pilihan kata yang indah untuk menipu manusia. Musailamah menyebut Nabi Muhammad sebagai orang yang melampaui batas. Karena ingin menguasai seluruh jazirah Arab. Sementara ia mengisyaratkan bahwa dirinya adalah orang yang bijak karena ingin berbagi.
Demikian juga para penyeru kesesatan di zaman ini, mereka menggunakan bahasa yang indah untuk memikat hati. Mereka sebut ajaran mereka mencerahkan sementara berpegang kepada Alquran dan sunnah adalah kejumudan dan kaku. Mereka sebut ajaran mereka toleran. Sementara yang lainnya adalah radikal.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Beliau tidak ingin keraguan dan kerancuan ini tersebar.
Beliau shallallahu alaihi wasallam pun membalas surat Musailamah:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ، إلَى مُسَيْلِمَةَ الْكَذَّابِ: السَّلَامُ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى. أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ الْأَرْضَ للَّه يُورَثُهَا مَنْ يُشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ، وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad utusan Allah kepada Musailamah sang pendusta. Keselamatan bagi mereka yang mengikuti petunjuk, amma ba’du: Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”
Setelah membaca surat itu, Musailamah memutilasi sahabat Nabi, Hubaib bin Zaid radhiallahu anhu, yang Nabi tugaskan untuk mengantarkan surat kepada Musailamah Al Kadzab. Peristiwa ini terjadi di akhir tahun ke-10 H.
Musailamah mulai menjadikan Yamamah sebagai tanah haram. Ia juga mulai menyusun sajak yang ia sebut sebagai Alquran. Al Mutasyammas bin Muawiyah, paman dari Al Ahnaf bin Qais, pernah mendengar sajak-sajak Alquran palsu yang dibacakan oleh Musailamah. Setelah keluar dari majelis Musailamah ia berkomentar, “Sungguh ia seorang pendusta”. Al-Ahnaf juga mengomentari, “Dia bukanlah nabi yang sebenarnya. Bukan pula seorang yang pintar dalam berpura-pura menjadi nabi”.
Orang-orang Yamamah yang mengikuti Musailamah begitu fanatik dengan dakwah kenabiannya. Mereka bangga orang-orang dari keluarga Rabiah bersaing dengan keluarga Mudhar. Yakni keturunan Rabiah juga punya nabi sebagaimana keturunan Mudhar punya nabi, yakni Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Pengakuan kenabian terhadap Musailamah sangat dipengaruhi fanatisme kabilah dan suku.
Suatu hari Thalhah An Namiri datang ke Yamamah untuk bertemu Musailamah. Ia ingin mendengar langsung dakwahnya dan menguji kenabian pembuat wahyu palsu ini. Ketika sampai di majelis Musailamah, Thalhah menyebut nama Musailamah langsung. Kaum Musailamah menjawab, “Sebut dia rasulullah!”. “Tidak mau, sampai aku melihatnya dulu”, kata Thalhah.
Ketika Musailamah datang, Thalhah berkata, “Engkau Musailamah?” “Iya”, jawab nabi palsu si tukang tipu. “Siapa yang datang kepadamu?” Tanya Thalhah. Musailamah menjawab, “Rahman (Allah pen.)”. “Dalam keadaan bercahaya atau dalam kegelapan?”, selidik Thalhah. “Dalam kegelapan”, jawab Musailamah.
Thalhah berkata, “Sungguh aku bersaksi engkau adalah pendusta. Dan Muhammad adalah yang benar. Akan tetapi pendusta dari Rabiah lebih kami cintai dibanding orang yang jujur dari Mudhar”. (Tarikh Ar Rusul wa Al Muluk oleh Ath Thabari, 3, 283-286, Asadul Ghabah oleh Ibnul Atsir, 1: 443, dan Al Mufashshal fi Tarikh Al Arab Qobla Al Islam oleh Jawad Ali, 6: 97).
Untuk menguatkan posisinya, Musailamah menikahi seorang perempuan dari bani Tamim. Kabilah besar lainnya di masyarakat Arab. Perempuan itu adalah Sajah binti Al Harits bin Suwaid At Tamimiyah. Wanita ini memiliki kesamaan degnan Musailamah, sama-sama mengaku nabi.
Ia mengajak kaumnya bani Tamim dan paman-pamannya dari kabilah Taghlib dan kabilah-kabilah Rabi’ah lainnya. Bersatulah kelompok besar ini dalam fanatisme kesukuan mengklaim sebuah kedustaan. Kemudian mereka menantang kekhalifahan Abu Bakar di Madinah.(islamstory.com)









