
Adapun bagi seseorang yang merasa tidak mampu dalam penjagaan, maka dilarang untuk menerimanya, terlebih bila ia akan merusak atau menghilangkannya, dan bisa menjadi wajib untuk menerima titipan dari saudaranya, bila memang tidak ada orang yang akan menjaganya, sedangkan ia merasa mampu untuk menjaganya.
Hal itu berdasarkan konteks dan pemahaman dari ayat-ayat atau hadits-hadits yang melarang seseorang untuk menyia-nyiakan harta yang ia miliki.
Transaksi wadi’ah ini merupakan akad yang bersifat jaiz (boleh) dari dua belah pihak. Masing-masing di antara keduanya berhak untuk membatalkan akad yang berlangsung, kapanpun juga. Ridha tidaknya pihak yang dibatalkan tidak ada pengaruhnya. Dan akad ini, secara otomatis terputus, bila salah satu dari keduanya meninggal atau hilang akalnya karena gila atau sakit. (Al Fiqh Islami Wa Adillatuhu: 5/4023)
Bagi seseorang yang menerima titipan atau amanah ini, wajib untuk menjaganya seperti miliknya sendiri. Karenanya, bila barang titipan itu hilang atau rusak, maka pihak yang dititipi tidak wajib dimintakan ganti atau pertanggungjawabannya, karena ia sebagai orang yang dipercaya oleh si penitip, selama pihak yang dititipi tidak berbuat lalai dan aniaya dalam penjagaan.
Bila terjadi kelalaian dan perbuatan aniaya, maka wajib bagi yang dititipi untuk menggantinya dan bertanggung jawab dengan barang tersebut, karena ia telah merusak harta dan barang orang lain.
Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang dititipi untuk menjaga barang titipan tersebut di tempat aman atau yang semestinya, sebagaimana layaknya ia menjaga hartanya sendiri.(*)