
Imam Bukhari berkata; “Umar bin Khattab bermuamalah dengan orang-orang (dengan perjanjian) bila Umar yang membawa benih maka ia memperoleh setengah (dari hasilnya) dan bila mereka yang membawa benih, maka mereka memperoleh sekian”. (HR. Bukhari: V/10)
Imam Bukhari juga berkata; “Al Hasan berkata; ‘Tidak mengapa tanah tersebut jika milik salah satu dari mereka berdua, lalu mereka bersama-sama mengeluarkan biaya. Maka apa yang dihasilkan dibagi antara kedua belah pihak’. Demikianlah yang menjadi pendapat Az Zuhri”. (HR. Bukhari: V/10)
Namun tidak diperbolehkan muzara’ah dengan perjanjian bahwa petak yang ini hasilnya bagi si pemilik tanah dan petak yang di sana bagi si penggarap. Demikian pula tidak boleh bagi si pemilik tanah untuk mengatakan, “Aku memperoleh darinya tanah ini sekian dan sekian”.
Diriwayatkan bahwa Rafi bin Khudaij berkata, “Dua orang pamanku bercerita kepadaku bahwa dahulu mereka pernah menyewakan tanah di zaman Nabi Shallallahu alaihi wasallam dengan memperoleh hasil dari apa yang tumbuh di atas Arbu’a (sungai kecil) atau sesuatu yang dikecualikan oleh si pemilik tanah, maka Nabi Shallallahu alaihi wasallam melarang akan hal tersebut.”
Demikian hukum Muzara’ah dalam Islam. Semoga bermanfaat.(*)