
Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata: Mereka pada saat itu masih baru meninggalkan kekafiran. Di dalam hadits-hadits diatas terdapat dalil yang menunjukkan bahwa tidak selayaknya (bagi kita) mempertanyakan tentang bagaimana penyembelihannya jika yang melakukannya orang yang diakui kewenangannya.
Ini adalah merupakan hikmah dari Allah dan kemudahan dariNya; sebab jika manusia dituntut untuk menggali syarat-syarat mengenai wewenang yang sah yang mereka terima, niscaya hal itu akan menimbulkan kesulitan dan membebani diri sehingga menyebabkan syari’at ini menjadi syari’at yang sulit dan memberatkan.
Adapun kalau hewan potong itu datang dari negara asing dan orang yang melakukan penyembelihannya adalah orang yang tidak halal sembelihannya, seperti orang-orang Majusi dan Penyembah Berhala serta orang-orang yang tidak menganut ajaran agama (Atheis), maka ia tidak boleh dimakan, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membolehkan sembelihan selain kaum Muslimin, kecuali orang-orang Ahlu Kitab, yaitu Yahudi dan Nashrani.
Apabila kita meragukan orang yang menyembelihnya, apakah berasal dari orang yang halal sembelihannya ataukah tidak, maka yang demikian itu tidak apa-apa. Para fuqaha (ahli fiqih) berkata: “Apabila anda menemukan sesembelihan dibuang di suatu tempat yang sembelihan mayoritas penduduknya halal, maka sembelihan itu halal”, hanya saja dalam kondisi seperti ini kita harus menghindari dan mencari makanan yang tidak ada keraguannya.
Sebagai contoh: Kalau ada daging yang berasal dari orang-orang yang halal sembelihannya, lalu sebagian mereka ada yang menyembelih secara syar’i dan pemotongan benar-benar dilakukan dengan benda tajam, bukan dengan kuku atau gigi; dan sebagian lagi ada yang menyembelih secara tidak syar’i, maka tidak apa memakan sembelihan yang berasal dari tempat itu bersandarkan kepada mayoritas, akan tetapi sebaiknya menghindarinya karena sikap hati-hati.(almanhaj.or.id)
Referensi Lainnya, klik: https://www.jabarnews.com