
Hadits ini mengisyaratkan bahwa menjama pada waktu hujan telah dikenal pada zaman Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Jika tidak, maka tidak ada faidah peniadaan hujan sebagai sebab yang membolehkan jama. (Irwa’ul Ghalil, 3/40)
Ketika ada keperluan yang menyusahkan jika tidak menjama shalat
Dalilnya ialah hadits di atas, yang kelanjutannya salah seorang perawi hadits yang bernama Sa’id bin Jubair berkata;
قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ
“Aku bertanya kepada Ibnu Abbas; ‘Mengapa beliau Shallallahu alaihi wa sallam melakukan itu?’. Dia menjawab; ‘Agar beliau tidak menyusahkan seorangpun dari umatnya’.” (HR Muslim no. 54/705)
Imam Nawawi rahimahullah berkata; “Sebagian ulama berpendapat bolehnya menjama pada waktu hadhar (tidak safar) karena keperluan bagi orang yang tidak menjadikannya sebagai kebiasaan”. (Syarah An Nawawi, 3/236)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata; “Para pekerja dan petani, jika mendapati kesusahan pada waktu tertentu, seperti pada saat mengerjakan shalat, air jauh darinya, jika mereka pergi ke sana dan bersuci, pekerjaan yang mereka butuhkan menjadi terbengkelai, maka mereka boleh melakukan shalat pada waktu musytarak (waktu yang dimiliki lebih dari satu shalat) dengan menjama dua shalat”. (Majmu Fatawa, 21/458)