
Misalnya, ujar Prof Jaih bahwa dalam akad murabahah harga itu harus pasti atas dasar kesepakatan. Jumlah kesepakatan angsurannya juga harus pasti.
Berdasarkan kesepakatan pasti ini sambungnya, apa yang terjadi di lapangan malah menjadikan celah yang menjadikan bank syariah dianggap lebih kejam dan lebih riba dari bank konvensional.
“Pada saat pembiayaan misalnya 15 tahun, tentu harganya berbeda dari 5 tahun, nah kemudian sudah diperjanjikan harga 15 tahun itu sekian rupiah, kemudian dilunasi pada tahun ke-5, kan menjadi tidak adil kalau harus (tetap) membayar yang 15 tahun,” terangnya.
Oleh karena itu, paparnya, DSN-MUI mengkaji betul terutama pada pendapat Ibnu ‘Abidin dalam Hasyiyahnya dan juga pendapat Rafiq Yunus al-Mishri yang mempertimbangkan waktu yang telah terlewati pada saat menjadi kewajiban nasabah dalam membayarnya.
Pada akhirnya, Fatwa Nomor 153 ini sedikit mengubah ketentuan Fatwa Nomor 23 Tahun 2002 yang tadinya hanya membolehkan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) memberikan potongan kepada nasabah yang bermaksud melunasi pembiayaan murabahah lebih cepat, menjadi mewajibkan LKS untuk memberikan potongan pada nasabah yang disebut tadi.