
Allah Ta’ala berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”. (QS. Al Baqarah: 233)
Dan Allah Ta’ala berfirman:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ
Diperintahkan bagi orang yang mampu (suami) memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. (QS: At Thalaq: 7)
Pada kedua ayat tersebut menjelasan bahwa nafkah itu merupakan tanggung jawab suami karena itu adalah kewajiban yang diperintahkan kepadanya, tanggung jawab artinya harus dilaksanakan, kalau tidak dilaksanakan maka akan menjadi utang yang harus dia penuhi. Seperti seseorang tidak melaksanakan perintah puasa karena dia sakit, maka dia wajib menggantinya setelah dia sehat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa, “kewajiban memberi nafkah telah melekat pada diri seorang suami dan jika dia tidak melaksanakannya maka kewajiban itu menjadi utang atasnya, dan hal itu tidak memerlukan keputusan pengadilan atau penerimaan dari suami” (Al Mufashal fi ahkamil mar’ah, Abdul Karim Zaidan, 7/178).
Dari penjelasan ini dapat kita pahami bahwa utang yang dipertanyakan adalah hutang yang menjadi tanggung jawab suami dan suami yang wajib melunasinya, baik itu atas persetujuan dia atau tidak, karena utang tersebut adalah untuk nafkah yang merupakan kewajiban suami, dan melekat pada dirinya.
Oleh karena itu walaupun telah terjadi perceraian maka dia wajib membayarnya, karena yang punya utang adalah dirinya. Wallahu a’lam.(konsultasisyariah.com)
Referensi Lainnya, klik: https://www.jabarnews.com