Moeslim.id | Ayahku meninggal dunia ketika aku masih kecil. Tinggal ibuku yang selalu merawatku. Ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sehingga mampu membiayai hidupku.
Aku anak satu-satunya. Ia memasukkanku ke lembaga pendidikan, sampai aku menyelesaikan perguruan tinggi. Sampai titik ini, aku masih menjadi anak yang berbakti kepadanya.
Tiba waktunya aku harus melanjutkan kuliah di luar negeri. Keberangkatanku diiringi dengan pesan ibuku sambil menetaskan air matanya; “Catat baik-baik di lubuk hatimu wahai anakkku, jangan sampai kamu tidak memberi kabar.. sering kirim surat, sehingga saya bisa merasa tenang dengan keadaan baikmu”.
Usai sudah masa studiku setelah menempuh waktu yang sangat lama. Namun aku kembali pulang dengan sosok yang berbeda. Aku banyak terpengaruh dengan budaya barat. Saya mulai memandang miring aturan agama, diliputi dengan semangat materialisme, yang hanya mendambakan harta dan harta. Saya mendapat pekerjaan dengan salary tinggi. Mulailah saya terarik untuk menikah.
Sebenarnya ibuku telah menawari aku untuk menikah dengan wanita yang baik agamanya, sopan, dan menjaga kehormatan. Namun aku tolak, dan aku hanya mau dengan wanita kenalanku, wanita kaya nan cantik jelita. Saya punya mimpi untuk memiliki kehidupan model ‘Aristikrasi’ (menurut istilah mereka).